Resume Psikologi Pendidikan (2) - Diversitas Sosiokultural


Resume Psikologi Pendidikan 2

 (Diversitas Sosiokultural)

 A. Kultur Dan Etnis

 • Kultur Adalah pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang tertentu yang diurunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Produk itu berasal dari interaksi antarkelompok orang dengan lingkungannya selama bertahun-tahun (Chun, Organizta, & Marin, 2002; Thomas ,2000). Kelompok kultural dapat sebesar Amerika Serikat atau sekecil suku Amazon yang terasing. Berapa pun besarnya, kultur kelompok itu akan mempengaruhi perilaku anggotanya (Berry, 2000; Matsumto, 2001).

• Etnis Kata ethnic berasal dari kata Yunani yang berarti “bangsa”. Etnisitas (etnicity) adalah pola umum karakteristik sperti warisan kultural, nasionalitas,ras, agama, dan bahasa. Setiap orang adalah anggota dari satu atau lebih kelompok etnis. Relasi antar orang yang berbeda etnis, bukan hanya di Amreika tetapi di seluruh dunia, sering kali dipenuhi dengan bias dan konflik.

 B. Variasi Individual

Telah diuraikan di muka bahwa tiap individu memiliki ciri-ciri yang khas, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Walaupun secara sepintas seorang individu menunjukkan persamaannya dengan individu-individu yang lain, tetapi secara lebih mendetail dapat dikatakan bahwa tidak ada dua individu yang identik atau persis sama. Perbedaannya hampir meliputi segenap aspek kehidupan individu. Individu berbeda dalam kecerdasan, bakat, dan kecakapan-kecakapan hasil belajarnya; berbeda pula dalam sikap, minat, emosi, perasaan, motif serta penghayatannya akan nilai-nilai; juga berbeda dalam kecakapan dan keterampilan fisik dan sosial. Garry dalam Sukmadinata mengategorikan variasi individual ke dalam bidang-bidang berikut:

1. Perbedaan fisik: usia, tingkat, dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran, penglihatan, dan kemampuan bertindak.
2. Perbedaan sosial termasuk status ekonomi, agama, hubungan keluarga, dan suku.

3. Perbedaan kepribadian termasuk watak, motif, minat, dan sikap.

4. Perbedaan intelegensi dan kemampuan dasar.

5. Perbedaan kecakapan atau kemampuan dasar. Perbedaan-perbedaan tersebut berpengaruh terhadap perilaku peserta didik baik di rumah maupun sekolah. Gejala yang dapat diamati adalah bahwa mereka menjadi lebih atau kurang dalam bidang tertentu dibandingkan dengan orang lain. Sunarto dan Hartono juga merumuskan variasi individual dilihat dari berbagai aspek yag dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

1) Perbedaan Kognitif Menurut Bloom, proses belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah, menghasilkan tiga kemampuan yang dikenal sebagai taksonomi Bloom, yaitu kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada dasarnya, kemampuan kognitif merupakan hasil belajar. Sebagaimana diketahui bahwa hasil belajar merupakan perpaduan antara factor pembawaan dan pengaruh lingkungan (faktor dasar dan ajar). Tingkat kemampuan kognitif tergambar pada hasil belajar yang diukur dengan tes hasil belajar. Intelegensi (kecerdasan) sangat berpengaruh terhadap kemampuan kognitif seseorang. Antara kecerdasan dan kemampuan kognitif berkorelasi tinggi dan positif, sehingga semakin tinggi kecerdasan seseorang, maka akan semakin tinggi pula kemampuan kognitifnya.

2) Perbedaan dalam Kecakapan Bahasa Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan seseorang untuk menyatakan buah pikirannya dalam bentuk ungkapan kata dan kalimat yang penuh makna, logis, dan sistematis. Kemampuan berbahasa tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor kecerdasan dan faktor lingkungan. Faktor-faktor lain yang juga penting adalah faktor fisik, terutama organ berbicara.

3) Perbedaan dalam Kecakapan Motorik Kecakapan motorik atau kecakapan psikomotorik merupakan kemampuan untuk melakukan koordinasi kerja saraf motorik yang dilakukan oleh saraf pusat untuk melakukan kegiatan. Seorang individu yang semakin dewasa menunjukkan fungsi-fungsi fisik yang semakin matang. Hal ini berarti ia akan mampu menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam banyak hal, seperti kekuatan untuk mempertahankan perhatian, koordinasi otot, kecepatan berpenampilan, keajegan untuk mengontrol, dan resisten terhadap kelelahan. Dari kenyataan ini dapat dinyatakan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang, berarti akan semakin matang sehingga mampu menunjukkan tingkat kecakapan motorik yang semakin tinggi.

4) Perbedaan dalam Latar Belakang Dalam suatu kelompok siswa pada tingkat manapun, perbedaan latar belakang dan pengalaman mereka masing-masing dapat memperlancar atau menghambat prestasinya, terlepas dari potensi individu untuk menguasai bahan pelajaran. Pengalaman-pengalaman belajar yang dimiliki anak di rumah mempengaruhi kemauan untuk berprestasi dalam situasi belajar yang disajikan. Latar belakang keluarga, baik dilihat dari segi sosio ekonomi maupun sosio cultural adalah berbeda-beda. Demikian pula lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda.

5) Perbedaan dalam Bakat Bakat merupakan kemampuan khusus yang dibawa sejak lahir. Kemampuan tersebut akan berkembang dengan baik apabila mendapatkan rangsangan dan pemupukan secara tepat. Sebaliknya, bakat tidak dapat berkembang sama sekali, manakala lingkungan tidak memberikan kesempatan untuk berkembang, dalam arti tidak ada rangsangan dan pemupukan yang menyentuhnya. Dalam hal inilah makna pendidikan menjadi penting artinya.

6) Perbedaan dalam Kesiapan Belajar Di depan telah diuraikan, bahwa perbedaan latar belakang keluarga dan lingkungan mempunyai pemngaruh terhadap belajar. Perbedaan latar belakang tersebut, yang meliputi perbedaan sosioekonomi dan sosiokultural, amat penting artinya bagi perkembangan anak. Akibatnya, anak-anak pada usia yang sama tidak selalu berada pada tingkat kesiapan yang sama dalam menerima pengaruh dari luar yang lebih luas, dalam hal ini pelajaran di sekolah. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan individu itu tidak saja disebabkan oleh keragaman dalam rentang kematangan tetapi juga oleh keragaman dalam latar belakang sebelumnya. Kondisi fisik yang sehat, dalam kaitannya dengan kesehatan dan penyesuaian diri yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman disertai rasa ingin tahu yang amat besar terhadap orang-orang dan benda-benda, membantu berkembangnya kebiasaan berbahasa dan belajar yang diharapkan. Sikap apatis, pemalu, dan kurang percaya diri, akibat dari kesehatan yang kurang baik, cacat tubuh, dan latar belakang yang miskin pengalaman, mempengaruhi perkembangan, pemahaman, dan ekspresi diri.

 C. Diversitas Sosio Kultural

Kita masing-masing lahir sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah pergaulan manusia. Namun demikian, kita juga tidak mengenal secara rinci karakter manusia itu. Ungkapan “tidak ada manusia yang sama” meskipun mereka lahir kembar. Apalagi jika diingat manusia itu jumlahnya miliaran. Walaupun begitu, manusia sebagai mahluk hidup yang ada di tengah-tengah manusia lain (lingkungan sosial) dan dalam konteks budaya (lingkungan budaya), di samping memiliki sifat-sifat yang berbeda, juga memiliki hal-hal yang sama selaku manusia, mahluk hidup, bgian dari alam serta sebagai ciptaan Tuhan. Manusia sebagai ciptaan Tuhan, tidak dapat ditelaah hanya sebagai fenomena alam semata-mata, dan sebagai mahluk yang berakal juga tidak dapat ditelaah hanya sebagai fenomena budaya. Dalam diri manusia selaku makhluk, melekat fenomena alam dan juga fenomena budaya. Hal inilah yang menjadi keunikan manusia. Sebagai individu, manusia merupakan kesatuan jasmani dan rohani yang mencirikan otonomi dirinya. Dalam proses pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani, manfaat kemampuannya secara alamiah bagi kepentingan individu sendiri. Namun dalam konteks sosial selaku makhluk sosial, pertumbuhan dan perkembangan indvidu tersebut pemanfaatannya tidak hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan bersama, kepentingan masyarakat. Bahkan pertanggungjawaban perilaku dirinya, juga tidak hanya tertuju kepada individu yang bersangkutan, melainkan juga tertuju kepada masyarakat. Manusia sebagai mahkluk hidup yang dikaruniai akal-pikiran yang berkembang dan dapat dikembangkan juga mendapat julukan sebagai individu budaya. Keunikan ini telah membawa pertumbuhan dan perkembangan manusia yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya, bahkan juga perkembangan ruang muka bumi yang menjadi tempat hidup serta sumber daya yang menjaminnya. Oleh karena itu, perilaku manusia ini menuntut tanggung jawab terhadap budaya yang menjadi bagian dari kehidupan manusia sendiri. Dalam sistem budaya, selain manusia berkreasi dalam mengembangkan akal-pikiranya yang menghasilkan kebudayaan, manusia juga berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk budaya, tidak dapat melepaskan diri dari konteks budaya yang mempengaruhi, membatasi, dan bahkan mengembangkan kehidupannya sendiri. Manusia selain hidup dalam “lingkungan budaya”, juga berinteraksi dengan lingkungan tersebut. Pada proses sosial dalam bentuk interaksi sosial, manusia tidak terlepas dari konteks sosial yang disebut “lingkungan sosial”. Lingkungan yang terakhir ini besar sekali pengaruhnya terhadap pembentukan pribadi individu. Ungkapan vonis sehari-hari dimasyarakat, misalnya seperti istilah “salah lingkungan”, jelas ditujukan kepada lingkungan sosial. Ke dalam lingkungan sosial ini termasuk keluarga, teman sepermainan, para tetangga, dan demikian seterusnya. Sosiokultural terbentuk dari dua kata, sosial dan kultural. Sosial berasal dari kata Latin socius yang berarti “kawan atau masyarakat”, sedangkan kultural berasal dari colere yang berarti “mengolah”. Colere berasal dari bahasa Inggris yaitu cultur yang diartikan sebagai segala daya upaya dan kegiatan manusia dalam mengubah dan mengolah alam.

a. Diversitas Status Sosial Ekonomi Individu dalam Masyarakat Sebagian besar negara mempunyai banyak subbudaya. Salah satu cara yang paling umum untuk mengkategorisasikan subbudaya melibatkan status sosial ekonomi. Status sosial ekonomi merujuk pada kategorisasi orang-orang menurut karakteristik ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan mereka. Di Amerika Serikat begitu pula di Indonesia, status sosial ekonomi mempunyai impplikasi penting untuk pendidikan. Individu-individu yang status sosial ekonominya rendah , rering kali mempunyai tingkat pendidikan dan kekuatan yang rendah untuk mempengauhi institusi masyarakat (seperti sekolah) dan sumber ekonomi yang lebih sedikit.

1) Tingkat Kemiskinan di Indonesia Dalam sebuah negara yang dilanda berbagai macam krisis yang berkepanjangan, seperti di Indonesia ini, timbulnya kesenjangan sosial yang sangat dalam antara kelompok masyarakat yang miskin dan kaya adalah suatu kenyataan yang sulit dihindari. Keadaan seperti ini kemudian menyebabkan timbulnya berbagai kelompok sosial dalam masyarakat itu sendiri. Perbedaan kelompok sosial ini merupakan salah satu bentuk dan bagian dari stratifikasi sosial. Menurt Ainul Yaqin, stratifikasi sosial itu sendiri, sebenarnya merupakan akibat ketidaksamaan posisi dan tempat secara sosial di dalam masyarakat yang berbentuk pengkategorian yang berbeda-beda, sehingga kesempatan untuk mendapatkan akses tertentu seperti sosial, ekonomi, dan politik menjadi berbeda. Stratifikasi sosial ini adalah sebuah fenomena sosial. Sebual label stratifikasi sosial bukan merupakan karakter yang dibawa manusia sejak lahir atau disebabkan oleh kekuatan supranatural yang datang dari luar kemampuan manusia. Stratifikasi sosial lebih merupakan akibat dari perbuatan manusia yang dilakukan sekarang atau masa lalu. Dapat juga dikatakan bahwa generasi-generasi awal kita menyebabkan keberhasilan atau kehancuran generasi akan datang.Menurut Webber menjelaskan bahwa di dalam stratifikasi sosial itu terdapat tiga unsur pokok, yaitu: class, status, and power. Masalah utama yang dihadapi negara berkembang seperti Indonesia, pengangguran dan kemiskinan. Apabila kedua masalah ini dapat ditekan serendah-rendahnya, maka sedikit demi sedikit negara ini akan dapat menjauh dari berbagai krisis yang ada.

 2) Keadaan Siswa-siswa dari Latar Belakang Status Sosial Ekonomi yang Rendah Anak-anak dari keluarga miskin seringkali menghadapi masalah-masalah di rumah dan di sekolah yang membahayakan pembelajaran mereka. Tinjauan terbaru perihal lingkungan kemiskinan dalam masa kanak-kanak, menyimpulkan bahwa bila dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih beruntung secara ekonomi, anak-anak miskin mengalami hal-hal malang berikut:

 • Mereka dihadapkan “pada lebih banyak kekacauan keluarga, kekerasan, pemisahan dari keluarga mereka, intstabilitas, dan rumah tangga yang kacau-balau.

• Dukungn sosial dan orang tua mereka kurang responsif dan lebih otoriter.

 • Jarang membaca, lebih sering menonton televisi, dan mempunyai lebih sedikit akses untuk buku dan komputer.

• Mendpatkan sekolah dan fasilitas pengasuhan anak yang buruk dan orang tua yang “kurang terlibat dalam aktivitas sekolah anak-anak mereka”.

• Udara dan air yang lebih tercemar dan rumah yang “lebih padat, lebih berisik, dan memiliki kualitas yang lebih rendah”.

• Lingkungan sekitar yang lebih berbahaya dan buruk secara fisik dengan layanan kota yang kurang memadai. Dua studi berikut ini mengilustrasikan bagaimana kemiskinan secara negatif dapat mempengaruhi pembelajaran dan perkembangan:

• Satu studi membandingkan lingkungan bahasa rumah dari anak-anak berusia 3 tahun yang berasal dari keluarga yang sejahtera dan profesional. Semua anak berkembang secara normal dalam hal belajar berbicara dan mempelajari semua bentuk bahasa Inggris serta kosakata dasar. Namun, ada perbedaan besar yaitu sedikitnya jumlah bahasa yang diketahui anak-anak dan tingkat perkembangan bahasa yang akhirnya dicapai anak-anak. Orang tua profesional berbicara lebih banyak dengan anak-anak mereka dibandingkan dengan orang tua yang sejahtera dan perbedaan ini berhubungan dengan perkembangan kosakata anak=anak.

 • Studi lain pada lebih dari 1.200 remaja berusia 12-14 tahun, meneliti peran kemiskinan pada prestasi matematika dan membaca. Kemiskinan berkaitan dengan nilai matematika dan membaca yang lebih rendah sehubungan dengan hubungannya dengan lingkungan rumah yang kurang mendukung dan kurang menstimulusasi secara kognitif. Studi ini juga sangat menemukan bahwa kemiskinan berkaitan dengan masalah perilaku sekolah. Sekolah-sekolah yang diikuti oleh anak-anak dari latar belakang keluarga miskin seringkali mempunyai acuan yang lebih sedikit dibandingkan dengan sekolah-sekolah di lingkungan sekitar berpenghasilan tinggi. Di daerah berpenghasilan rendah, siswa-siswa cenderung mendapatkan skor tes prestasi yang lebih rendah, angka kelulusan lebih rendah, dan angka masuk ke perguruan tinggi yang lebih rendah. Sebagian besar gedung sekolah dan kelas sudah tua, hancur, dan tidak terawat dengan baik. Sekolah tersebut juga kemungkinan besar diurus oleh guru-guru muda yang belum berpengalaman dibandingkan dengan sekolah-sekolah di lingkungan berpenghasilan lebih tinggi. Sekolah-sekolah di daerah berpenghasilan rendah juga lebih cenderung mendorong pembelajaran yang dihafalkan tanpa berpikir, sementara sekolah-sekolah di daerah berpenghasilan lebih tinggi kemungkinan besar lebih sering menghadapi anak-anak meningkatkan keterampilan berpikir mereka. Singkatnya, terlalu banyak terdapat sekolah di lingkungan berpenghasilan rendah yang memberi siswa-siswa lingkungan yang tidak kondisif untuk pembelajaran yang efektif.

 3. Diversitas Kultural

a. Etnisitas Kata etnis berasal dari Yunani yang berarti “bangsa”. Etnisitas (ethnicity) merujuk pada pola karakteristik seperti warisan budaya, kebangsaan, ras, agama, dan bahasa. Setiap orang adalah anggota dari satu kelompok etnis atau lebih, dan hubungan antara orang-orang dari latar belakang etnis yang berbeda, tidak hanya di Indonesia, tetapi di setiap sudut dunia, sering dipenuhi dengan bias dan konflik. Di mana letak perbedaan etnisitas dan ras? Istilah ras, saat ini tidak diyakini sebagai konsep biologis, merujuk pada klasifikasi orang-orang atau makhluk hidup lain menurut karakteristik fisiologis tertentu. Istilah tersebut tidak pernah cocok untuk mendeskripsikan orang-orang dalam artian ilmiah atau pun karena manusia begitu beragam, sehingga mereka tidak masuk ke dalam kategorisasi rasial yang dikemas dengan rapi. Jadi, ras tidak lagi diakui sebagai konsep ilmiah yang autentik. Kata ras jarang digunakan untuk merujuk segala sesuatu atas perilaku seseorang dengan agama atau pun warna kulit. Dalam budaya di Amerika tidak ada perubahan yang lebih nyata daripada keseimbangan etnis yang berubah-uabah di antara warga negara Amerika. Pada awal abad ke-21, sepertiga dari semua anak-anak usia sekolah masuk dalam kategori yang saat ini dirujuk sebagai “anak-anak berwarna” (terutama Afrika-Amerika, Latin, Asia-Afrika, dan Amerika Asli). Pada 2005, porsi itu akan mencapai separuh. Demografi yang berubah-ubah ini tidak hanya menjanjikan kesempurnaan yang dihasilkan oleh keberagaman, tetapi juga tantangan yang sulit dalam menyampaikan mimpi orang Amerika kepada individu-individu dari semua kelompok etnis. Menurut sejarah, orang-orang berwarna menemukan diri mereka sendiri ada di bawah dari susunan sosial dan ekonomi Amerika. Dengan tidak seimbang mereka digambarkan berada di antara orang miskin dan kurang berpendidikan.

 b. Diskriminasi Unsur lain yang masih terkait dengan kultur adalah masalah diskriminasi. Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil terhadap orang atau kelompok lain. Diskriminasi mempunyai hubungan erat dengan relasi antara kelompok yang dominan dengan yang minoritas karena perlakuan yang tidak adil, biasanya sering berasal dari kelompok dominan terhadap kelompok minoritas. Perlakuan tidak adil atau tindakan diskriminatif bisa terjadi dalam berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan kultural seperi perbedaan agama, suku, ras, klas sosial, gender, umur, dan bahasa dapat dijadikan objek dan alasan untuk melakukan diskriminasi oleh kelompok dominan terhadap kelompok minoritas. Bentuk diskriminasi ada dua macam, yaitu diskriminasi institusional dan diskriminasi individual. Diskriminasi individual yaitu bersikap tidak adil kepada orang lain hanya karena alasan pribadi belaka. Diskriminasi ini biasanya dilakukan oleh individu-individu. Seorang guru tidak memperdulikan muridnya, ia tidak peduli apakah si murid itu paham atau tidak terhadap apa yang dijelaskannya. Si guru berbuat demikian hanya karena dia mempunyai perasaan tidak suka secara pribadi terhadap si murid. Sedangkan diskriminasi institusional yaitu perlakuan tidak adil terhadap seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari golongan tertentu, terutama dari kelompok minoritas, di dalam institusi-institusi atau organisasi-organisasi kepentingan maupun swasta. Diskriminasi institusional ini biasanya dilakukan oleh sekelompok orang dari golongan tertentu yang dominan dan sangat kuat dalam sebuah institusi sehingga terlihat, seakan-akan, institusi itu yang melakukan diskriminasi. Di dalam sebuah kantor pemerintahan yang mayoritas pegawainya berasal dari suku “A” maka jabatan-jabatan strategis, terutama jabatan kepala kantor, akan selalu diduduki oleh orang-orang yang berasal dari suku lainnya, maka ia akan mendapat kesulitan untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di kantor tersebut. Diskriminasi institusional juga dapat terjadi pada wilayah-wilayah sosial yang lebih lias seperti desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, dan bahkan dapat terjadi dalam sebuah institusi negara. Contohnya, akibat telah diterapkannya sistem pemerintahan yang sentralistik pada masa kepemimpinan Soeharto, pembangunan dibeberapa wilayah Indonesia berjalan tidak seimbang. Pembangunan di Jawa dan bali berkembang sangat pesat sedangkan di wilayah lainnya berlangsung sangat lamban. Di Jawa dan Bali, fasilitas-fasilitas umum seperti sarana transportasi, rumah sakit dan pusat industri tersedia dan berkembang dengan baik. Keadaan ini berdampak pada tingkat kesejahteraan penduduknya lebih baik bila dibandingkan dengan kesejahteraan penduduk di wilayah-wilayah lain seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua. Seperti yang kita ketahui, kedua wilayah tersebut fasilitas-fasilitas umum yang ada sangat tidak memadai. Sarana dan prasarana transportasi sangat terbatas sehingga mobilitas masyarakatnya terhambat. Selain itu, fasilitas kesehatan tidak layak menyebabkan tingkat kesehatan masyarakatnya sangat buruk dan pusat industri yang sangat terbatas menyebabkan tingkat pengangguran tinggi. Keadaan yang demikian ini menyebabkan tingkat kesejahteraan di wilayah tersebut rendah bila dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat di Jawa dan Bali. Ketimpangan pembangunan seperti ini adalah salah satu bentuk diskriminasi institusional.

 c. Bilingualisme Di seluruh dunia, banyak anak berbicara lebih dari satu bahasa. Bilingualismeadalah kemampuan untuk berbicara dalam dua bahasa. Bilingualisme mempunyai pengaruh yang positif terhadap perkembangan kognitif anak-anak. Anak-anak yang lancar dalam dua bahasa, mendapatkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang berbicara satu bahasa, dalam tes pengendalian perhatian, pembentukan konsep, penelaran analitis, fleksibilitas kognitif, dan kompleksitas kognitif. Mereka juga lebih sadar akan struktur bahasa lisan dan tertulis serta lebih baik dalam menemukan kesalahan-kesalahan tata bahasa dan arti, keterampilan yang menguntungkan membaca mereka. Para siswa AS, jauh tertinggal dari rekan-rekan mereka di banyak negara maju dalam mempelajari bahasa kedua. Sebagai contoh, di Rusia, sekolah-sekolah mempunyai 10 tingkat kelas, yang disebut forms, yang kira-kira sama dengan 12 tingkat kelas di sekolah Amerika. Di Rusia, anank-anak mulai sekolah di usia 7 tahun dan mulai beljar bahasa Inggris di form ketiga. Karena penekanan pada pengajaran bahasa Inggris ini, sebagian besar warga negara Rusia di bawah usia 40 tahun pada saat ini bisa berbicara sedikit bahasa Inggris. Pendidikan bilingual (bilingual education) adalah mengajarkan mata pelajaran akademis untuk anak-anak imigran dalam bahasa ibu mereka, sementara dengan perlahan mengajarkan bahasa Inggris. Beberapa peneliti mendukung pendidikan bilingual, di mana anak-anak mengalami kesulitan dalam mempelajari satu mata pelajaran ketika pelajaran tersebut diajarkan dalam bahasa yang tidak mereka megerti, dan ketika kedua bahasa dipadukan di dalam kelas, anak-anak mempelajari bahasa kedua dengan lebih mudah dan berpartisipasi dengan lebih aktif. Namun, banyak hasil penelitian hanya melaporkan dukungan yang biasa saja daripada dukungan kuat untuk pendidikan bilingual, dan beberapa pendukung pendidikan bilingual saat ini mengakui bahwa pelajaran berbahasa Inggris yang kompeten bisa menumbuhkan hasil yang positif untuk pelajar bahasa Inggris.

0 Response to "Resume Psikologi Pendidikan (2) - Diversitas Sosiokultural"

Posting Komentar

SAYA

SAYA

Entri yang Diunggulkan

Cara download dan install SPSS V.20

yoo...minna...kali ini saya akan membagikan sedikit postingan tentang bagaimana cara mendownload dan menginstall Spss v.20 ..oke langsun...